Hari Merdeka Dijaman Kemerdekaan yang Samar-samar

Ilustrasi Separuh Hati Merah Putih (Sumber: Pixabay, Desain by Canva)

Peringatan hari Kemerdekaan negara Republik Indonesia baru saja diselenggarakan. Pengibaran Sang Saka Merah Putih melangit, berkibar dengan gagahnya. 

Merah dan putih, simbol kemerdekaan di atas perjuangan para pejuang jaman perang. Yang hasil darah dan keringatnya kita nikmati saat ini. 

Upaya mereka mempertahankan dan merebut kembali kekuasaan dari tangan penjajah dan sekelompok penghianat negeri. 

Nusantara kita yang kaya suku, ada istiadat, bahasa dan budaya. Maritim kita yang tersebar membelah wilayah negeri. Serta alam yang kaya akan hasil bumi. Semua kembali ke pangkuan ibu Pertiwi, menjadi milik bangsa Indonesia dan dikelola oleh kita sendiri. 

Merdeka yang kita nikmati hingga detik ini adalah impian yang disorakkan orang-orang terdahulu. Kebebasan yang kita jalani hari ini adalah harapan hidup dari mereka yang dulu bangun dan tidurnya disertai desing peluru. 

Lalu, masihkah kita menutup mata dan melupakan sejarah? Kemerdekaan ini adalah hak seluruh warga negara. Tetapi mengapa, masih banyak anak negeri yang bersedih. Masih banyak anak negeri yang tersakiti di masa kemerdekaan ini. Masih banyak bagian dari bumi Pertiwi yang tak kunjung sembuh, dan sekarat hingga kini. 

Siapakah mereka? Siapakah anak negeri ini yang masih tersakiti? 

Mereka adalah sekelompok anak kecil yang tak mampu menikmati bangku sekolah karena terbentur masalah ekonomi. Mereka adalah sekelompok anak yang senantiasa diabaikan karena kehadirannya tak memberi keuntungan pihak tertentu. Mereka yang diabaikan karena miskin, dibiarkan bodoh dan jadi pengamen dengan dalih itu pilihan sendiri. Mereka yang terjebak kerasnya kehidupan dan berdamai dengan kekerasan itu. 

Ada pula mereka yang lain. Yang tak leluasa beraktivitas karena fasilitas umum hanya untuk segelintir orang. Padahal seorang penyintas juga bagian dari Indonesia yang patut mendapat perhatian. Patut diberikan keleluasaan beraktivitas di ranah publik, dengan memperhatikan fasilitas umum yang dibuat khusus untuk membantu penyandang disabilitas. Seberapa banyak di negeri ini yang memperhatikan hal seperti itu? 

Mereka yang lain adalah yang berkecimpung di ranah adat. Memilih untuk tidak bersentuhan dengan dunia luar bukanlah alasan untuk menjadikan mereka bangsa yang terisolir di negeri sendiri. Bukankah Nusantara kita kaya akan budaya? Lalu mengapa masih ada masyarakat adat yang tidak diakui kehadirannya di bumi Pertiwi ini. Mengapa masyarakat adat yang berusaha melindungi tanah adat dijadikan pembangkan dan dikenakan sangsi. Mengapa hal yang memperkaya Indonesia justru dipertanyakan eksistensinya oleh bangsanya sendiri. 

Juga perempuan-perempuan pada umumnya yang masih terkungkung dogma dan stereotip di masyarakat. Bahwa perempuan tak layak menjadi pemimpin. Perempuan urusannya dapur, sumur dan kasur. Perempuan bersuami harus tinggal di rumah dan mengurusi anak dan membersihkan rumah. Perempuan harus pasrah dan diam, patuhi perintah suami dalam hal apapun tanpa terkecuali. Sekalipun itu menggores luka di hatinya, tak sejalan dengan hak asasi manusianya. 

Perempuan tak boleh bersuara jika disakiti, "dinodai", karena itu adalah malu yang harus ditutupi, aib yang disebabkan oleh perempuan itu sendiri. Siapa suruh seksi, siapa suruh cantik, siapa suruh jalan keluar, siapa suruh belum nikah, siapa suruh suka melawan, siapa suruh jadi pemilih dan hal-hal lain yang dibebankan kepadanya. Sementara dirinya adalah korban. 

Kenyataan-kenyataan ini mencengangkan, menyakiti hati dan tak kuasa jika dibayangkan. Tapi inilah fakta di negeri yang setiap tahun mengibarkan bendera pelambang kemerdekaan. 

Setiap tahun seremonial dan lagu-lagu kebebasan Indonesia diperdengarkan. Bahkan hampir setiap hari di sekolah-sekolah lagu-lagu nasional dinyanyikan serentak. 

Tapi mengapa? Kondisi yang sangat jauh dari ciri kemerdekaan bangsa semakin hari semakin marak terjadi. Bahkan pelaku kriminal mulai berani dan terang-terangan beraksi di bumi ini. Seolah tak punya rasa takut terlebih rasa malu. Wajah-wajah mereka disorot kamera, kelakuan bejatnya minta dimaklumi dan tangannya melambai benar-benar bagai manusia yang lupa diri. 

Yah begitulah gambaranku tentang  kemerdekaan di bumi Pertiwi ini. Di waktu yang sama membuatku cinta namun terasa samar-samar dan membuatku patah hati.

0 Komentar