Ilustrasi kebersamaan dengan anak-anak (Sumber: dokumentasi pribadi) |
Apa sih yang terlintas dipikiran kita
mendengar kata "anak"
Apakah tentang mereka yang bangun
dan tidurnya selalu mengucap kata "maaaaa, mamaa"
Apakah mereka yang saat kebingungan
mencari sesuatu ataupun saat sedih karena terluka lalu mencari mamanya
Mama, Ibu, Bunda, Umi, Mami apa saja
yang disematkan untuk sosok perempuan yang harus selalu ada di sekitarnya. Ya,
harus karena menurutku anak dan ibu adalah satu kesatuan. Tentang bagian dari
tubuh seorang perempuan yang kemudian hadir di dunia dan membentuk satu diri
yang baru, ialah anak.
Hari anak diperingati tiap tanggal
23 Juli. Biasanya orang-orang merayakan dengan berbagai bentuk selebrasi untuk
menandai hari tersebut. Tapi, bukankah setiap hari adalah sebuah hari yang
selalu berharga bersama anak-anak? Hampir setiap detik nafas ibu adalah hembusan
doa yang mengiringi langkah anak-anaknya. Lalu bagaimana sebaiknya kita
merangkai satu hari di Hari Anak menjadi lebih bermakna?
Makna, memaknai
Memaknai hari-hari yang telah
berlalu, tentang apa yang telah kita berikan atau apa yang semestinya kita
lakukan. Seberapa pekakah kita terhadap tumbuh kembang anak? Seberapa pahamkah
kita perasaan seorang anak? Apakah anak-anak kita tumbuh dengan bahagia? Ataukah
mereka semata menjalani hidup dengan segala yang kita sajikan tapi mereka tak
mengerti apa yang mereka lakukan.
Apa yang dirasakan anakku hari ini?
Sukakah ia dengan lauk tempe yang
kusajikan? Atau sebenarnya dia lebih senang telur ceplok tapi tak berani
mengutarakan keinginannya. Sukakah anakku dengan les piano yang kujadwalkan
untuknya? Padahal sebenarnya ia ingin menjadi seorang karateka tapi tak berani
menyampaikan keinginannya. Bagaimana ia di sekolah hari ini? Senangkah ia
bermain dengan kawan-kawannya? Atau hal berat dilalui tapi ia enggan berbagi
cerita pada ibunya.
Mungkin seseorang sudah merasa
melakukan yang terbaik untuk anaknya, memberikan segala kebutuhannya, mencukupi
setiap hal yang menunjang tumbuh kembangnya. Tapi terkadang, seseorang juga
melupakan bahwa anak adalah sosok diri yang memiliki hati dan pikirannya
sendiri, memiliki kesenangan dan ketertarikan yang mungkin hanya ia yang
mengerti. Dan kembali lagi, coba renungkan seberapa peka kah kita -seorang ibu-
untuk memahami itu semua.
Tak banyak yang ingin kutuliskan
untuk momentum hari anak kali ini. Ilmu parenting ada di mana-mana, banyak tips
di media sosial tentang hal itu. Para ahli konsultasi untuk menjadi media perantara
membangun hubungan baik dengan anak pun banyak di sekitar kita. Tidak, kali ini
tidak akan kutuliskan tentang hal semacam itu.
Belakangan kita dihantui segelintir
pemberitaan, anak-anak yang dibully, bayi-bayi yang ditelantarkan, anak-anak
yang merundung, bahkan dikonotasikan sebagai pelaku kriminal. Ada apa dengan
anak-anak kita?
Oleh sebab itu, perihal makna
adalah yang paling utama menjadi topik tulisan kali ini. Memaknai hari anak lebih
dalam dari biasanya. Terlepas dari sekadar selebrasi yang dirayakan satu hari
saja. Memaknai dengan meresapi segala hal yang telah berlalu dan akan dilakukan
esok hari, adalah lebih baik.
Rangkul anak kita, peluk ia seperti
saat usianya balita, katakan cinta dan sayang seperti saat mereka masih dalam
gendongan. Tatap matanya, dan temukan betapa besar cinta dan harapan anak untuk
ibu yang dikasihinya. Mungkin banyak hal yang ingin mereka lakukan tapi tak tahu
bagaimana mereka wujudkan hal tersebut.
Mungkin ada banyak rangkaian kata yang ingin diucap, tapi ia tak tahu bagaimana
kalimat tersebut akan terlontar.
Peluk cium anak-anak Indonesia
Dari seorang ibu, yang selalu merindu.
0 Komentar