Pertama-tama, saya ingin mengungkapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas kepergian Mas Eril, Putra Ridwan Kamil yang belum lama ini diumumkan. Saya adalah satu diantara jutaan netijen yang turut merasakan duka itu. Saya adalah perempuan seperti Nyonya Athalia yang merasakan kehilangan itu. Dan saya adalah seorang ibu yang memiliki putera, yang juga turut menelan duka yang dirasakan kedua orang tua yang telah ditinggalkan. Pedih rasanya, bahkan ketika hanya bisa memantau pemberitaan secara virtual. Tak terbayang bagaimana pilu perasaan Bapak Ridwan Kamil dan segenap keluarga yang ditinggalkan sosok Eril.
Kematian adalah mutlak bagi setiap manusia. Satu persatu dari setiap yang bernyawa akan mencapai titik tersebut. Tak ada yang bisa berkompromi perihal yang telah ditentukan Sang Pencipta bagi hambanya. Meski di sisi lain, kita memahami bahwa kehidupan di dunialah yang sesungguhnya semu. Karena perjalanan hidup yang sebenarnya adalah setelah melalui pintu kematian.
Saat kematian itu terjadi orang-orang di bumi yang kita tinggalkan akan berderai air mata dan mengurai kenangan-kenangan manis saat bersama. Sementara doa-doa keselamatan mulai melangit mengiringi langkah kita di dalam kabut keabadian.
Pilu, hanya bagi yang kita tinggalkan.
Sakit, hanya untuk orang-orang yang kehilangan.
Sementara kita terus berjalan, berdampingan dengan amal kebajikan berharap Alquran yang kita sentuh semasa hidup datang membawa syafaat.
Kematian bukan lagi tempatnya berjuang. Tak ada agenda mendesak, kelaparan, kekurangan harta warisan, tak ada lagi kunjungan kerja atau bahkan bersolek ria. Yang ada hanya satu urusan bagaimana kita menghadap Tuhan.
Lalu, untuk kita yang saat ini masih hidup dengan segala kesempatan untuk mencari bekal di hari kemudian. Siapkah kita menuju kesana? Sebanyak apa amal ibadah yang akan menjadi teman perjalanan kita. Seberapa banyak persiapan kita dalam menyambut perjalanan kekal nanti. Sudahkah kita berbuat baik hari ini?
Sudahkah kita saling mengingatkan hari ini?
Sudahkah kita memberikan hal terbaik untuk kehidupan abadi itu?
Semua hanya bisa dilakukan di waktu ini, di setiap detik yang menjadi kesempatan dari Sang Ilahi.
Kabut keabadian telah setia menanti. Kita yang terlahir di bumi dengan segala kondisi yang tidak dimengerti dan akan akan kembali dengan situasi yang juga tak pernah bisa dipahami. Karena semua adalah rahasia Ilahi.
Mari kembali berkaca diri, kita melihat pantulan diri kita di dalam sana. Apakah dia masih sosok yang sama yang kita kenali? Ataukah kehidupan dan zaman yang berganti telah merubahnya menjadi seseorang yang bahkan tidak kita ketahui.
Mari menjadi versi diri kita yang lebih baik lagi, tanpa menjauh dari fitrah kita sendiri. Menjadi pribadi yang senantiasa berbagi dan berbuat hal baik untuk orang sekitar, karena ketulusan akan mengangkat derajat diri kita sendiri. Sebelum pintu itu terbuka dan kaki-kaki melangkah ke dalamnya. Yah, pintu abadi itu adalah pintu yang bernama mati.
0 Komentar