Namanya selalu berada di urutan
pertama doa-doaku. Dirinya yang selalu kuingat setiap kali kaki ini berpijak
di tempat yang indah. Yah, dia ibuku, .pahlawanku
yang tanpa title. Namanya Tasmawati, seorang perempuan sederhana kelahiran
Agustus 1970 tanggal 19, di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Seorang bungsu
dari 3 bersaudara, kakak perempuan dan seorang kakak laki-laki. Kedua
saudaranya telah lebih dulu menghadap Ilahi. Sedangkan ibunya, nenekku, tinggal
sebatang kara di Kabupaten Soppeng. Hingga saat ini beliau menolak untuk
menetap bersama kami di Kabupaten Bantaeng yang berajak kurang lebih 500
kilometer jauhnya. Pada moment-moment tertentu, saya kerap mendapati ibuku
menangis sendirian. Mengenang dua saudaranya yang meninggal setelah
bertahun-tahun terbaring sakit sedang ibunya kini tinggal seorang diri di
kampung halaman.
Saya sangat senang mendengar
cerita masa mudanya. Setiap kali ada uang dan peluang kami balik ke kampung
menengok nenek, ia bersemangat menceritakan masa mudanya. Menunjukkan
sekolah-sekolahnya yang kami lalui, tempat ia menimba ilmu dulu. Berjalan kaki
yang cukup jauh dari rumahnya dulu sampa memutuskan untuk numpang di rumah
keluarga yang rumahnya cukup dekat dari sekolah. Itupun masih harus melintasi
sungai yang saat itu konon ada buayanya. Bagaimana ia harus bangun subuh dan
membantu pemilik rumah untuk beres-beres rumah sebelum mengurus persiapannya
sendiri untuk berangkat sekolah. Jelas itu kondisi yang jauh berbeda denganku.
Saya jangankan memegang sapu, sarapan pun sampai disuapi oleh ibuku sebelum
berangkat sekolah.
Ibuku dididik oleh nenek menjadi
sosok lembut dan penyabar. Ia bersama dua saudaranya dibesarkan oleh seorang
single parent di gubuk sederhana. Sehingga memang tak terbiasa dengan kehidupan
yang berlebihan.
Setelah tamat di sekolah menengah
atas, ibuku merantau ke Kalimantan untuk mencari kerja. Katanya sejak dulu
adalah hal yang lumrah orang-orang muda di kampungnya memilih Kalimantan
sebagai tempat untuk perbaikan nasib. Singkat cerita karena keuletannya ia
akhirnya bekerja di sebuah perusahaan dan menjadi seorang operator yang
bertugas mengontrol mesin-mesin, sebuah posisi yang cukup bagus saat itu.
Sedikit demi sedikit ia menabung uang, membeli emas dan mengirimkan uang
belanja untuk nenek di kampung.
Namun tak cukup lama, seorang
pemuda jatuh hati dan meminangnya. Seorang pria dari pulau yang sama dengannya
di Sulsel. Karena kondisinya telah menikah dan hamil tak lama setelahnya ia
terpaksa berhenti bekerja dan memulai kehidupannya sebagai IRT seutuhnya. Cukup
berat saat itu melepas gaji yang lumayan dan menapaki hidup baru sebagai istri
seorang tukang ojek. Namun ia percaya, kehidupan setelah menikah tidak akan
seperih yang ia bayangkan, suami yang menyayanginya akan bekerja keras untuk
hidupnya lebih baik.
Saat ini, saya putri pertamanya
berusia 29 tahun. Saya memiliki seorang adik laki-laki yang berusia 25 tahun. Artinya
hampir 3 dekade ia menjalani kehidupannya yang sederhana, rutinitas harian
dengan sekelumit pekerjaan domestik. Bangun paling awal dan tidur paling akhir.
Sebuah kehidupan yang menurutku terlalu hebat untuk di jalani. Karena saya
tidak akan sanggup. Bertemu dengan aktivitas yang sama berpuluh-puluh tahun dan
tetap terlihat wajar, sehat wal afiat adalah suatu berkah tak ternilai harganya
dari Sang Maha Kuasa. Padahal, ibuku seorang penyintas tumor payudara.
Sampai saat ini ayahku masih seorang pekerja lapangan yang tidak mendapat gaji bulanan pemerintah. Pekerjaannya dibayar sesuai jasanya. Hebatnya, dengan pekerjaan itu ayahku bisa membangun rumah yang cukup untuk seorang istri dan sepasang putra putrinya. 3 kali menggelar hajatan besar, 2 kali sunatan dan satu kali pesta resepsi pernikahanku, berlangsung meriah tanpa utang. Ia yang kerap kali dipandang sebelah mata tapi terbukti bisa menyekolahkanku ke tingkat universitas .
Meski penghasilan pas-pasan, tapi
ayahku tetap mengupayakan pengobatan terbaik. Awalnya ibuku didiagnosa
menderita myoma sehingga harus menjalani
operasi kecil tahun 2016. Kemudian beberapa tahun berikutnya sebuah benjolan di
bagian payudara juga membuatnya harus melawan rasa sakit. Ternyata sebuah tumor
ganas yang diketahui setelah mengangkat jaringan tumor dari payudara ibuku.
Karena kondisinya, dokter menyarankan untuk memotong seluruhnya bagian payudara
kiri ibu, tapi ia tidak melangkah sejauh itu. Dan sampai saat ini hanya
mengandalkan pengobatan tradisional.
Berbagai ramuan secara rutin ia
konsumsi, pengobatan ala orang-orang dulu pun dijalani. Sebiji yang berada di
dalam payudaranya masih ada namun tidak bertambah besar ataupun mengecil. Sesekali
sakitnya terasa. Dan ibu menjalani semuanya sambil tetap mengurus rumahnya
dengan baik.
Apa yang saya lakukan?
Pengobatan-pengobatan alternatif kutawarkan, produk-produk yang banyak
testimoni di pasaran semampuku kubelikan. Tak lagi kupikir tabungan yang terkuras, saya mau ibuku sembuh
dan tidak merasakan sakitnya. Saya dan suami yang sesama jurnalis juga kerap
kali membawa ibu saat mendapat tugas liputan yang di lokasi yang menyenangkan.
Karena menyadari 1 hal, salah satu upaya membuatnya nyaman adalah membawanya
jalan-jalan, membangkitkan hormon bahagia dalam dirinya, membuatnya merasa
tenang, aman dan nyaman. Dan yah cara ini berhasil, mungkin tidak menghilangkan
penyakitnya tapi membuatnya selalu merasa tenang dan menjalani hari-hari yang
gembira. Ibuku adalah sosok yang kuat, tak peduli seberapa sakit yang ia
derita. Tanggung jawabnya sebagai seorang istri dan ibu tetap ia lakukan meski
kami tidak meminta. Ibadahnya tak putus, shalat fardhu dan sunnah ditegakkan.
Mengaji dan bersedekah. Menyayangi dan membimbing anak-anak dan cucu-cucunya
dengan tanpa kekurangan. Meskipun kesakitan ia selalu optimis Allah akan
menguatkannya dan menyembuhkannya suatu hari nanti.
Sayang sekali, dari segi ekonomi
kami memiliki langkah terbatas. Terakhir kali ibuku kubawa melihat ibukota
negara, di Jakarta itupun dengan tiket dibawah tanggungan Kemenpora. Yah, tahun
2022 ini saya dan suami terpilih sebagai salah satu finalis Pasangan Muda
Inspiratif dan Berprestasi, kami berkesempatan untuk datang ke Jakarta. Saya
memohon kepada panitia untuk membawa serta ibuku dan dikabulkan. Jadilah kami
jalan-jalan gratis ke pulau Jawa dan staycation di Hotel Ciputra selama 4 hari.
Ibu sangat senang, ini kali pertama
beliau naik pesawat dan berkunjung ke Jakarta. Perjalanan terjauh yang pernah
ia tempuh. Beliau senang, sangat terhibur dan bahagia. Saya ingin wajah bahagia
itu selalu hadir. Beliau pernah bercerita bahwa sangat besar inginnya menginjak
tanah suci Mekkah dan berdoa di depan Kabbah untuk memperoleh kesembuhan. Tak
ada yang mustahil di tanah haram. Kesempatan ini tidak kusia-siakan. Lewat
tulisan ini, saya berharap semoga bisa menjadi perpanjangan tangan dari Yang
Maha Esa, untuk mengguratkan senyum di wajah seorang ibu yang selama ini
berpikir dunianya sempit sebatas, dapur, sumur, kasur. Salam hormat saya, semoga berkah dan
sejahtera membersamai kita semua. Aamiin, wassalam.
Kunjungi laman Aplikasi Super klik di sini
0 Komentar