Matinya otak-otak kreatif mahasiswa. Katanya Maha, kok gitu?

Mahasiswa!  Apa saja yang terlintas dibenak kita tentang mahasiswa?  Bukan sekedar pelajar, dialah maha. Seperti yang kita tahu, maha berarti mampu memberikan perbedaan antara pola pikirnya dari pelajar setingkat yang tanpa embel-embel 'maha'.

Saya pernah jadi mahasiswa. Saya pernah bangga menjadi mahasiswa. Lalu kemudian saya menemukan (situasi) betapa sombongnya mahasiswa ini . Betapa merepotkannya mahasiswa ini. Betapa malunya saya berlabel mahasiswa. Kemudian beberapa waktu terakhir saya melihat banyak keadaan "betapa matinya mahasiswa ini", apanya yang mati?  Kreatifitas. Saya banyak menemukan ketimpangan dan disorientasi dalam dunia mahasiswa, tapi khusus kali ini saya hanya membahas soal vakumnya otak-otak kreatif. 

Hal apa yang menyebabkan saya mengatakan bahwa otak-otak kreatif (sebagian) mahasiswa sedang tidur? Padahal, contoh; anak seni terus eksis kok dengan aktifitas mereka yang banyak menunjukkan kreatifitas. Selain itu lembaga-lembaga kampus juga masih terus aktif dengan berbagai event yang otomatis menampilkan hasil dari otak-otak kreatif mahasiswa.

Memang tidak semua adalah pelaku (karena tidak semua mahasiswa adalah Fakultas seni dan tidak semua mahasiswa turut berlembaga) Tapi bukankah justru orang-orang ataupun aktifitas yang berada di garis depanlah yang akan memancing asumsi masyarakat tentang mahasiswa?
1. Ruang lingkup anak seni, kenyataannya anak Fakultas seni tidak melakukan event semata untuk lembaga, beberapa dibuat karena memang tuntutan dari mata kuliah atau jenjang studinya.
2. Tidak semua mahasiswa ikut berlembaga, ada yang kampus-kos- kampung saja kerjanya, dari sisi mana kita bisa melihat sisi kreatif mahasiswa jenis ini? Entahlah, mungkin dari caranya membenah kamar kos yang nyaman dengan desain-desain yang membuat ia terbuai dan lupa bahwa ada baiknya sisi kreatif tersebut dimanfaatkan di dunia lembaga. Atau bisa jadi mahasiswa jenis ini lebih memanfaatkan kreatifitasnya untuk kepentingan pribadi, misalnya berkarya untuk menambah penghasilan tapi apakah dengan jalan ini bisa menjadi alasan bagi sang maha untuk mengabaikan masa baktinya di dunia pelajar setingkat maha? Apakah harus menunggu masa kkn untuk memberi sumbangsih? 
3. Bagian yang paling tidak bisa saya toleransi adalah mahasiswa berlembaga yang melakukan pemalakan dengan sampul yang indah. Nah ini dia yang membuat saya memberi garis mati. Seperti apa sampul indah itu?

Beberapa bulan lalu saya jalan-jalan ke tempat saya pernah berstatus mahasiswa dulu. Pemandangannya indah, ada penjual gorengan yang menggoreng penuh tawa di Gazebo. Setahuku dulu Gazebo adalah tempat sakral untuk berdiskusi, tempat asik untuk bercanda dan saling mengenal satu sama lain, sekarang ternyata semakin asik dengan dijadikannya Gazebo sebagai tempat memasak. Katanya untuk keperluan "penggalangan dana". 

What?  Yang beginian dikerjakan di sini? Haruskah? Alasannya apa? Kalau memang tidak ada sekret memangnya tidak bisa minta bantuan teman untuk pinjam dapur kos nya kah?

Tunggu dulu, katanya penggalangan dana. Sumber dana su abis kah? Su jauh kah? Apa harus menjual gorengan? Bukannya di kampus sudah ada kantin kalau memang alasan menjual karena di sini manusianya doyan makan. Menurutku itu cuma alibi untuk menutupi kemalasan yang merajalela. Sedikit memalukan, bukan karena faktor "mahasiswa menjual gorengan" atau "gorengannya dibutuhkan atau tidak". Bukan itu, yang memalukan adalah apakah ini jalan satu-satunya untuk menggalang dana?

"Eh tapi proposal sudah kami jalankan juga kak, ini cuma alternatif untuk tambahan dana,"

Proposalmu ke mana? Ada hasilnya? Kurang yah? Kok bisa? Yang lobby siapa? Yang follow up siapa? Kok ditolak? Apanya yang salah? Proposal yang jalan bukan cuma 3 kan? Jangan-jangan... 

Lalu ini menjual gorengan (bikinnya di kampus lagi), ini dijual ke siapa? Sesama mahasiswa? Apa semua mahasiswa yang ditawari punya uang jajan lebih? Bagaimana dengan teman mahasiswa yang serba terbatas tapi harus rela merogoh koceknya demi gorenganmu karena kamu temannya? (Ada rasa tidak enak dengan alasan teman)
Saya sendiri sering dapat 'pemalakan' jenis ini, ya meskipun saya terus menolak beli. Dengan senyum ajaibnya beberapa orang mendekat "kak, beliki dulu tawwa untuk tambahan dana nya anak-anak,"

Wow, miskin sekali. Saya yang katanya berstatus "senior" ini diminta untuk membantu jalannya kegiatan adek-adek dengan membeli gorengan. Saya lalu berpikir, kepada saya (yang sebenarnya bukan siapa-siapa)  ditawarkan dengan bahasa seperti itu, bagaimana dengan sesama teman sejawat mereka? Apakah uangnya keluar benar-benar dengan sukarela karena mau gorengan? Atau...

Maksudku kenapa tidak melakukan penggalangan dana dengan metode lain saja? Yang intinya adalah mereka bisa dapat uang dari orang-orang secara ikhlas, bukan mereka datang dengan 'menodong' tapi mereka yang membuat orang-orang datang untuk memberi sumbangsih.

Saya beri 1 contoh, misal membuat 1 booth unik untuk foto. Beberapa anggota lembaga ditugaskan untuk menjaga booth, sementara yang lain bertugas untuk menginfokan ke teman-teman bahwa di sana ada booth foto kece kalau mau foto cukup bayar Rp 2000 saja untuk 10 menit. Nah bukankah ini bisa lebih sedikit sopan, mengambil uang teman tapi mereka memberi dengan sukarela? Kita tidak harus keliling kampus menjajakan gorengan dengan kalimat-kalimat yang entah dicetak dari mana. Katanya mahasiswa, kok gitu.

Hal lain yang saya temukan adalah beberapa malam lalu di lampu merah perbatasan Makassar-Gowa. Sekelompok mahasiswa (tidak usah saya sebutkan kampusnya)  menjajakan cokelat dan permen, katanya untuk penggalangan dana. Wow, hati-hati ketemu satpol pp dek yah, ini pemungutan liar loh.

Sekian dulu yang saya sampaikan, ini baru 1 sisi, next semoga umurku panjang saya akan bahas dewa-dewi kampus kekinian.

0 Komentar